Omar Dhani:
Figur yang Disegani Sekaligus Dicurigai
Penarikan Laksamana S. Suryadarma --salah seorang petinggi TNI AU--dari jabatan Panglima Angkatan Udara pada tahun 1962, mendatangkan berkah bagi Omar Dhani. Bekas sinder perkebunan Kebon Arum, Klaten, ini rupanya berkenan di hati Presiden Soekarno. Karena itu, pria berperawakan tegap yang baru bergabung dengan AURI sejak November 1950 ini dipercaya untuk menduduki tampuk pimpinan TNI AU.
Perwira kelahiran Solo ini pernah ambil bagian secara aktif dalam operasi udara menumpas pemberontakan di wilayah Timur Indonesia. Perilaku Omar dikenal lembut. Di hadapan Bung Karno, ia lebih mengesankan seorang penurut. Karena itu, di mata pengagumnya, Omar dianggap sebagai bawahan yang penuh dedikasi. Tapi, di mata lawan politiknya, Omar dianggap orang yang sangat lihai mencari muka.
Ketika Presiden Soekarno mengisyaratkan pembentukan "Angkatan Kelima", yaitu buruh dan petani yang dipersenjatai, Omar Dhani menyambut dengan antusias. Padahal, di pihak lain, Angkatan Darat tampak jelas tak berselera.
Tidak hanya itu. Omar pun melangkah lebih jauh. Ia menyetujui pelajaran Marxisme diajarkan di sekolah-sekolah dan Kursus Angkatan Udara. Ia bahkan tak keberatan apabila penasihat dari unsur Nasakom ditempatkan mendampingi pimpinan Angkatan Udara.
Kedekatan dengan Bung Karno, membuat mantan Panglima Komando Siaga pada masa Dwikora ini makin ke 'kiri'. Kelak, keberpihakannya semakin jelas. Omar membiarkan "sukarelawan" yang kemudian menyokong G30S/PKI dilatih di sekitar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusumah oleh oknum perwira-perwira progresif kalangan TNI-AU.
Akhirnya, nama Omar Dhani sulit dilepaskan dari gerakan yang membawa malapetaka itu. Ia salah satu dari dua tokoh nasional yang menyambut Bung Karno di Halim, 1 Oktober 1965 pagi. Tokoh lainnya adalah DN Aidit, Ketua CC PKI.
Ketika pembersihan merambat ke dalam tubuh ABRI, Presiden Soekarno kehabisan akal untuk mempertahanakan Omar. Setelah menyerahkan jabatan Menteri/Panglima Angkatan Udara kepada Sri Mulyono Herlambang, Omar diperintahkan melakukan perjalanan keluar negeri bersama isteri.
Tapi, ketika pelaku-pelaku G30S mulai diadili, kesaksian Omar kian terasa diperlukan. Ia dipanggil pulang dari Pnom Penh, Kamboja. Tak dinyana, petugas yang menjemputnya di bandara ternyata mengantarkan Omar ke rumah tahanan.
Desember 1966, putra mantan Bupati Boyolali ini maju ke sidang Mahmilub sebagai terdakwa. Mengenakan setelan jas coklat, ia tampak sedikit kurus. Proses pengadilan sendiri berjalan lancar. Mahmilub menjatuhkan hukuman mati untuk bekas laksamana madya itu.
Setelah hampir lima belas tahun mendekam di penjara, Omar belum juga menerima hukuman mati. Di kamar tahanan, Omar kabarnya tekun mempelajari Islam. Usai salat Isya, Omar suka berzikir. Bahkan, hampir setiap tengah malam, pukul 24.00, ia mengambil air wudhu lalu salat tahajud. Ia berharap dapat menjalani ekskusi setelah lebih dahulu salat malam. Pelaksanaan ekskusi biasanya memang diberitahukan kepada narapidana sekitar tengah malam. Di samping itu, selama di penjara, Omar pun rajin puasa Senin-Kamis.
Pada 14 Desember 1982, Omar Dhani bersama Soebandrio dipanggil Mahmilti. Pemanggilan ini ternyata bukan untuk melaksanakan eksekusi. Secara resmi, pemerintah memberikan grasi (keringanan hukuman) kepada kedua tokoh tersebut. Berupa hukuman penjara seumur hidup. Ketika media massa menyiarkan berita grasi itu, banyak karangan bunga, telepon, dan surat yang berdatangan ke kediaman Omar di Jalan Cipaku, Kebayoran Baru, Jakarta.
Tak berhenti di situ, Omar dan dua mantan petinggi orde lama lainnya, kemudian sekali lagi mengajukan permohonan grasi. Sesuatu yang baru dalam hukum Indonesia, pengajuan grasi lebih dari satu kali.Terhitung pukul 00.00 tanggal 16 Agustus 1995, akhirnya Omar Dhani berhak menghirup udara bebas. Berdasarkan keputusan Presiden Soeharto tanggal 2 Juni 1995 dan yang kemudian diumumkan Mensesneg Moerdiono di Gedung Utama Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (28/7) siang, Omar Dhani memperoleh grasi. Saat itu Mensesneg mengatakan, setelah tanggal 15 Agustus 1995, Soebandrio, Omar Dhani, dan Soegeng Soetarto akan menghirup udara bebas di tengah masyarakat. Kepulangan Omar disambut hangat oleh keluarga, kerabat, dan teman-teman sejawat.
Omar Dhani akhirnya memang mendapat kesempatan untuk menghabiskan hari tuanya di tengah anak dan cucu. Tapi, sejumlah pertanyaan besar rupanya masih enggan meninggalkan perwira tua yang mulai uzur ini. Pertanyaan yang selalu mengemuka adalah seputar keterlibatan Omar dalam peristiwa berdarah tanggal 30 September 1965. Vonis Mahmilub ternyata tidak memuaskan orang. Sejumlah "buku putih" memang telah mencoba membuat klarifikasi. Sayangnya, klarifikasi itu pun umumnya belum bisa menghitam-putihkan peristiwa 30 September 1965 yang hingga kini masih "abu-abu". Omar Dhani menjadi layak 'disentuh' kembali ketika orang ramai berpolemik soal pencabutan Tap MPRS nomor XXV/MPRS/1966 seperti diusulkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. (Jajang Jamaludin)
Figur yang Disegani Sekaligus Dicurigai
Penarikan Laksamana S. Suryadarma --salah seorang petinggi TNI AU--dari jabatan Panglima Angkatan Udara pada tahun 1962, mendatangkan berkah bagi Omar Dhani. Bekas sinder perkebunan Kebon Arum, Klaten, ini rupanya berkenan di hati Presiden Soekarno. Karena itu, pria berperawakan tegap yang baru bergabung dengan AURI sejak November 1950 ini dipercaya untuk menduduki tampuk pimpinan TNI AU.
Perwira kelahiran Solo ini pernah ambil bagian secara aktif dalam operasi udara menumpas pemberontakan di wilayah Timur Indonesia. Perilaku Omar dikenal lembut. Di hadapan Bung Karno, ia lebih mengesankan seorang penurut. Karena itu, di mata pengagumnya, Omar dianggap sebagai bawahan yang penuh dedikasi. Tapi, di mata lawan politiknya, Omar dianggap orang yang sangat lihai mencari muka.
Ketika Presiden Soekarno mengisyaratkan pembentukan "Angkatan Kelima", yaitu buruh dan petani yang dipersenjatai, Omar Dhani menyambut dengan antusias. Padahal, di pihak lain, Angkatan Darat tampak jelas tak berselera.
Tidak hanya itu. Omar pun melangkah lebih jauh. Ia menyetujui pelajaran Marxisme diajarkan di sekolah-sekolah dan Kursus Angkatan Udara. Ia bahkan tak keberatan apabila penasihat dari unsur Nasakom ditempatkan mendampingi pimpinan Angkatan Udara.
Kedekatan dengan Bung Karno, membuat mantan Panglima Komando Siaga pada masa Dwikora ini makin ke 'kiri'. Kelak, keberpihakannya semakin jelas. Omar membiarkan "sukarelawan" yang kemudian menyokong G30S/PKI dilatih di sekitar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusumah oleh oknum perwira-perwira progresif kalangan TNI-AU.
Akhirnya, nama Omar Dhani sulit dilepaskan dari gerakan yang membawa malapetaka itu. Ia salah satu dari dua tokoh nasional yang menyambut Bung Karno di Halim, 1 Oktober 1965 pagi. Tokoh lainnya adalah DN Aidit, Ketua CC PKI.
Ketika pembersihan merambat ke dalam tubuh ABRI, Presiden Soekarno kehabisan akal untuk mempertahanakan Omar. Setelah menyerahkan jabatan Menteri/Panglima Angkatan Udara kepada Sri Mulyono Herlambang, Omar diperintahkan melakukan perjalanan keluar negeri bersama isteri.
Tapi, ketika pelaku-pelaku G30S mulai diadili, kesaksian Omar kian terasa diperlukan. Ia dipanggil pulang dari Pnom Penh, Kamboja. Tak dinyana, petugas yang menjemputnya di bandara ternyata mengantarkan Omar ke rumah tahanan.
Desember 1966, putra mantan Bupati Boyolali ini maju ke sidang Mahmilub sebagai terdakwa. Mengenakan setelan jas coklat, ia tampak sedikit kurus. Proses pengadilan sendiri berjalan lancar. Mahmilub menjatuhkan hukuman mati untuk bekas laksamana madya itu.
Setelah hampir lima belas tahun mendekam di penjara, Omar belum juga menerima hukuman mati. Di kamar tahanan, Omar kabarnya tekun mempelajari Islam. Usai salat Isya, Omar suka berzikir. Bahkan, hampir setiap tengah malam, pukul 24.00, ia mengambil air wudhu lalu salat tahajud. Ia berharap dapat menjalani ekskusi setelah lebih dahulu salat malam. Pelaksanaan ekskusi biasanya memang diberitahukan kepada narapidana sekitar tengah malam. Di samping itu, selama di penjara, Omar pun rajin puasa Senin-Kamis.
Pada 14 Desember 1982, Omar Dhani bersama Soebandrio dipanggil Mahmilti. Pemanggilan ini ternyata bukan untuk melaksanakan eksekusi. Secara resmi, pemerintah memberikan grasi (keringanan hukuman) kepada kedua tokoh tersebut. Berupa hukuman penjara seumur hidup. Ketika media massa menyiarkan berita grasi itu, banyak karangan bunga, telepon, dan surat yang berdatangan ke kediaman Omar di Jalan Cipaku, Kebayoran Baru, Jakarta.
Tak berhenti di situ, Omar dan dua mantan petinggi orde lama lainnya, kemudian sekali lagi mengajukan permohonan grasi. Sesuatu yang baru dalam hukum Indonesia, pengajuan grasi lebih dari satu kali.Terhitung pukul 00.00 tanggal 16 Agustus 1995, akhirnya Omar Dhani berhak menghirup udara bebas. Berdasarkan keputusan Presiden Soeharto tanggal 2 Juni 1995 dan yang kemudian diumumkan Mensesneg Moerdiono di Gedung Utama Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (28/7) siang, Omar Dhani memperoleh grasi. Saat itu Mensesneg mengatakan, setelah tanggal 15 Agustus 1995, Soebandrio, Omar Dhani, dan Soegeng Soetarto akan menghirup udara bebas di tengah masyarakat. Kepulangan Omar disambut hangat oleh keluarga, kerabat, dan teman-teman sejawat.
Omar Dhani akhirnya memang mendapat kesempatan untuk menghabiskan hari tuanya di tengah anak dan cucu. Tapi, sejumlah pertanyaan besar rupanya masih enggan meninggalkan perwira tua yang mulai uzur ini. Pertanyaan yang selalu mengemuka adalah seputar keterlibatan Omar dalam peristiwa berdarah tanggal 30 September 1965. Vonis Mahmilub ternyata tidak memuaskan orang. Sejumlah "buku putih" memang telah mencoba membuat klarifikasi. Sayangnya, klarifikasi itu pun umumnya belum bisa menghitam-putihkan peristiwa 30 September 1965 yang hingga kini masih "abu-abu". Omar Dhani menjadi layak 'disentuh' kembali ketika orang ramai berpolemik soal pencabutan Tap MPRS nomor XXV/MPRS/1966 seperti diusulkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. (Jajang Jamaludin)
No comments:
Post a Comment